oleh

Pergeseran Media Cetak ke Media Online

 

 

yusrizal Allba

By: Yusrizal Allba

Penulis adalah Editor

Dalam satu dekade terakhir perkembangan bisnis media cetak mulai redup dengan begitu pesatnya pertumbuhan media online termasuk media sosial seperti facebook, twiter, instagram dan lainnya di negeri ini.

Era orde lama, ordebaru  sampai ke era reformasi  tahun 1989, perkembangan media masa cetak (koran, majalah, tabloid) sangat pesat sekali, dan mendominasi minat pembaca untuk mengetahui berbagai informasi yang berkembang di masyarakat.

Pada era itu mendirikan media cetak harian, mingguan dan bulanan (majalah, tabloid) harus memiliki Izin Usaha Penerbitan (SIUP) dari Departemen Penerangan (Depen) yang dikomandoi  oleh Menteri Marhoko ketika itu. Untuk mendapatkan SIUP dari Depen itu tidak sedikit biayanya yang dikeluarkan.

Era Presiden Gusdur mengeluarkan kebijakan sangat spektakuler, Departemen Penerangan dan SIUP dihapus. Dalam artian siapapun bisa mendirikan produk perusahaan pers, hanya berbakal badan hukum CV saja. Dihapusnya SIUP oleh Gusdur saat itu mungkin tidak cocok dengan pikiran presiden ketiga yang dikenal dengan slogannya ‘ begitu aja repot’.

Seiring dengan perkembangannya pada era reformasi kebijakan itu pun berubah. Untuk mendirikan media masa (harian, mingguan dan bulanan)  harus punya badan hukum PT atau Yayasan , sedangkan badan hukum CV tak berlaku lagi.

Dibanding pada masanya dulu, kini dalam perkembangnnya tren orang membaca koran nampaknya bergeser, agak malas karena agak ribet ketimbang membaca berita media online. Kalau baca koran bolak-balik halaman, sedangkan berita online tinggal klik di HP muncul berita yang diiginkan.

Disamping itu berita-berita yang dilansir media cetak kadang terlalu panjang yang membuat orang bosan membaca. Paling yang dibaca judulnya saja, itupun kalau menarik!.  Penjual koran pun menjadi sorotan yang sering mangakal di lampu merah menganggu kenyamanan lalulintas. Namun tidak demikian dengan media online. Sedangkan market media online, makin banyak  orang yang mengupload conten-conten  berita dan informasi terkini, semakin banyak peluang untuk mendapatkan pundi uang.

Sedangkan berita dan informasi yang ekspose media online singkat padat, tegas dan update yang merujuk pada  5 W+1 H. Inilah kelebihan media online yang sedang tren saat ini. Bagaimana nasib media cetak kedepannya yang mulai tergeser  dengan media online saat ini ?  Jawabnya tergantung market dan kebijakan public.

Saya masih ingat dari ucapan beberapa pejabat pusat dan daerah sepuluh tahun silam. Diungkapkan pejabat itu, sebelum ngantor sambil minum kopi baca koran dahulu. Tetapi kini tren pola itupun berubah, di dalam mobil pun kini orang bisa baca informasi berita melalui smart pohne.

Ini tentunya imbas dari begitu pesatnya perkembangan teknologi informasi berbasis internet yang mempengaruhi imajinasi masyarakat saat ini.

Dari data SPS tahun 2015 menunjukan oplah koran melambat,menurun 8,9 % dan lebih kecil dibanding total oplah 2011. Sedangkan tren pengiklan sejak 2011 mengurangi pasang advertensi di media cetak.

Juga data penelitian menyebutkan, sekarang ini di Indonesia, rata-rata orang menghabiskan waktu 2,3 jam perhari. Dari waktu itu, buka internet 2 jam, sementara membaca koran hanya 34 menit. Pembaca tidak lagi mencari berita-berita utama, karena mereka sudah tahu bahwa itu kejadian kemarin. Yang dibaca adalah opini, tokoh, sosok.

Disamping itu membangun bisnis media cetak  sekala besar , seperti (harian) tentu punya modal besar. Selain punya kantor yang refresentatif, harus punya mesin cetak sendiri, dan puluhan perangkat computer. Sedangkan media online tak demikian, tak perlu kantor bertingkat dan megah, sarana dan prasarana yang dibutuhkan juga sesuai kebutuhan. Ketersediaan modal media oneline pun tak banyak amat.

Dewan Pers Mendata 43 Ribu Portal Media Online

Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Dewan Pers Indonesia, Ratna Komala memaparkan ada sekira 43 ribu portal media online yang terdata. Namun, dari jumlah tersebut hanya 500 yang terdaftar oleh Dewan Pers

Data yang diperoleh dari Kementerian Komunikasi dan Informatika di 2016 terdapat 800 ribu situs yang terindikasi penyebar berita palsu dan ujaran kebencian. Tidak hanya di Indonesia,  tetapi juga di Amerika, paling hangat itu pemilihan presiden.

Saat ini masyarakat lebih memilih untuk mengakses pemberitaan secara online. Namun, hanya sedikit media yang terverifikasi dan itu dapat memicu munculnya berita bohong atau hoax karena terdapat ribuan media.

Dari UC Browser itu 95,4 persen masyarakat membaca konten berita dari smartphone. Dari TV 45,9 persen, 20,9 persen dari majalah dan koran. Banyak yang butuh berita sementara penyedia berita yang terverifikasi baru sedikit.

Media yang sudah terverifikasi harus menjaga kaidah agar tidak kehilangan kepercayaan. Sebab, konsekuensi akan didapat media dari kehilangan kepercayaan masyarakat.

Kalau media mainstream tidak menjaga kaidah yang harus dipatuhi, maka akan kehilangan kepercayaan..

Riset Nielsen Advertising Information Services yang dirilis oleh Nielsen Indonesia pada 1 Februari 2017, total belanja iklan di televisi dan media cetak sepanjang 2016 mencapai Rp134,8 triliun. Jumlah ini naik 14 persen dari tahun sebelumnya. Riset Nielsen ini memantau iklan yang mencakup 15 stasiun televisi nasional, 99 surat kabar, serta 123 majalah dan tabloid.
Media online yang mengakses pemberitaaan secara aktual, tentu berbeda dengan media online bisnis berbentuk blok (portal) yang kini sedang booming di Tanah Air. Bisnis online di internet tidak menyajikan informasi dan berita, melainkan sebagai promo untuk menawarkan berbagai produk kebutuhan masyarakat. Bisnis semacam ini pun memiliki prospek menjanjikan kedepannya.Semoga

 



Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *