oleh

Banyak Dipakai Pejabat, Berapa Sih Biaya ‘Cuci Otak’ dr Terawan?

 

JAKARTA,RP – Walau kontroversial, cuci otak dr Terawan Agus Putranto banyak mendapat testimoni positif. Tak tanggung-tanggung, pasiennya banyak dari kalangan pejabat. Sebut saja Aburizal Bakrie, Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Dahlan Iskhan. Mahal nggak ya kira-kira?

Baru-baru ini, detikHealth mewawancarai seorang pasien yang pernah berobat dengan terapi berbasis Digital Substraction Angiography (DSA) tersebut. Ia mengaku membayar Rp 49 juta untuk semua perawatan selama 2 malam di kamar VIP.

“Menurut saya harganya sesuai dengan penggunaan alat dan keahliannya. Saya bayar Rp 49 juta untuk semua dengan menginap di VIP 2 malam,” ujarnya kepada detikHealth.

“Untuk terapi dengan DSA sekitar Rp 30 juta,” tambahnya.Hasilnya, banyak pasien memberikan testimoni positif. Dave Laksono, seorang politisi, mengaku kondisinya membaik hanya dengan satu kali terapi.

“Kepala nyut-nyutan sudah cukup hilang, penglihatan juga cukup jelas. Saya bisa sebut keberhasilan dari metode tersebut,” kata Dave.
Meski demikian, terapi ini banyak juga mendapat kritik, khususnya terkait dasar ilmiahnya. Prof Dr dr Moh Hasan Machfoed, SpS(K), MS, ahli saraf dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, menyebut istilah cuci otak atau brain wash tidak ada dalam istilah kedokteran.

Prof Hasan yang juga merupakan ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) menjelaskan bahwa DSA merupakan suatu alat untuk mendiagnosis adanya kelainan pembuluh darah di seluruh tubuh, termasuk di otak. DSA bukan merupakan alat untuk terapi stroke.

“Sebenarnya DSA alat untuk diagnosis. Di dr T dijadikan alat untuk terapi bahkan prevensi. Analoginya, apa bisa kalau batuk dirontgen terus batuknya sembuh? Itu kan untuk diagnosis,” jelas Prof Hasan.

Sementara itu, promotor dr Terawan di Universitas Hasanuddin mengatakan tidak ada masalah dengan penelitian tentang metode yang dipakai dr Terawan. Namun ia memberi catatan terkait aplikasinya pada pasien.

“Sudut ilmiah sebenarnya metode penelitian sudah standar sebagai mahasiswa S3. Namun perlu dicatat kalau mau memperkenalkan harus ada uji klinik terlebih dahulu, uji klinik dengan mengacak pasien dokter Terawan dan dokter biasa dan kita akan liat hasilnya,” kata sang promotor, Prof Irawan Yusuf, PhD. (kps)



Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *