oleh

Tidak Direklamasi, Galian Bekas Tambang Batubara Mengancam Nasib Generasi Penerus

Banyak Perusahaan Tambang Terindikasi Tidak Melakukan Reklamasi

ini yang akan terjadi jika tidak dilakukan reklamasi oleh tambang batubara

BENGKULU, RP – Kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan Batubara di Provinsi Bengkulu, terus berlanjut. Negara tampaknya tidak hadir dalam mengawasi dan menindak perusahaan batubara yang terindikasi kuat melanggar hak asasi manusia (HAM) dan aturan ini dan membuat perusahaan tambang batubara merasa leluasa beroperasi.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Bengkulu, Beni Ardiansyah, sebagaimana dilansir Mongabay Indonesia beberapa waktu lampau menilai, tidak adanya itikad  pemerintah daerah untuk menghormati, melindungi termasuk memulihkan hak azazi manusia (HAM), khususnya hak atas lingkungan hidup dan penegakan aturan terhadap kejahatan lingkungan hidup.

Karena itu lanjut dia, pihaknya akan menggugat negara, dalam hal ini pemerintah daerah, melalui jalur hukum. Ini sangat perlu dilakukan, karena kasus seperti ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut. Ini akan menimbulkan kerugian dan penyengsaraan rakyat.

Dia mencontohkan kerusakan lingkungan hidup di sepanjang DAS Air Bengkulu hingga pesisir pantai di Kota Bengkulu dan Bengkulu Tengah yang terjadi sejak 1980-an hingga kini adalah nyata dan bukan kasat mata. Kerusakan lingkungan hidup ini akibat limbah batubara dari perusahaan tambang yang ada dibagian hulu sungai ini.

Walau kerusakan lingkungan ini sudah berjalan selama puluhan tahun, namun pemerintah daerah tidak pernah berupaya menemukan perusahaan tambang untuk dimintai pertanggungjawaban dalam kasus ini.

Kerusakan lingkungan lainnya yang tak kalah parahnya, adalah tidak dilakukannya reklamasi terhadap lubang bekas tambang yang sudah mengeruk batubara dari perut bumi Provinsi Bengkulu. Begitu pula kerusakan terhadap kawasan hutan, kewajiban membayar jaminan reklamasi dan jaminan paska tambang yang tidak dipenuhi juga terkesan dibiarkan.

“Lebih parah lagi, adalah masalah izin yang terindikasi masuk kawasan hutan konservasi dan hutan lindung seperti terungkap dalam surat Direktorat Jenderal Palonologi Kementerian Kehutanan No. S.706/VII-PKH/2014 bertanggal 10 Juli 2014 pun belum ditindaklanjuti,” tambah Beni.

Beni menyebutkan, setidaknya ada 12 IUP tambang batubara terindikasi masuk kawasan hutan konservasi dan hutan lindung yang tidak jelas tindaklanjutnya. Dia menyebutkan bahwa IUP yang terindikasi masuk hutan konservasi tidak ditindak. Begitu pula IUP terindikasi masuk hutan lindung, khususnya IUP operasi dan produksi, boleh jadi perusahaan sudah berproduksi, namun belum punya izin pinjam pakai kawasan hutan. Kalau ini yang terjadi, dia menyebutnya hal itu adalah pelanggaran aturan.

Sementara data Yayasan Genesis dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional menunjukkan, hanya delapan perusahaan tambang batubara yang menunaikan kewajiban membayar  jaminan reklamasi dan paskatambang. Yakni, PT. Bumi Arma Sentosa, PT. Injatama, PT. Kaltim Global, dan PT. Rekasindo Guriang Tandang. Sedangkan empat perusahaan lainnya, yakni PT. Bara Adhipratama, PT. Firman Ketahun, PT. Krida Darma Andika, dan PT. Ferto Rejang hanya membayar jaminan reklamasi.

Manager Kampanye Yayasan Genesis Uli Arta Siagian, sebelumnya mengatakan bahwa banyak perusahaan tambang yang tidak membayar jaminan reklamasi dan paska tambang. Padahal kewajiban itu diatur UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara. Ini bisa disebut pelanggaran aturan telah dilakukan.

Belum lagi mengenai kewajiban melakukan reklamasi dan paska tambang, sambung Uli, yang tidak dilakukan. Menurut dia, berdasarkan citra satelit dan overlay IUP tambang batubara, setidaknya ada 22 lubang tambang yang tidak direklamasi. Lubang-lubang bekas galian tambang yang masih menganga menjadi bukti nyata ketidakhadiran negara dan bukti kejahatan ekologi yang dilakukan perusahaan.

Bisa Digugat:

Hak atas lingkungan yang sehat dan baik seperti tertuang dalam Pasal 28H UUD 1945, Pasal 9 Ayat (3) UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 65 Ayat (1) UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sehingga, negara (pemerintah) dan pelaku usaha wajib untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak tersebut.

Sementara pemerhati lingkungan hidup dari Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Edra Satmaidi mengatakan, masyarakat atau lembaga lingkungan hidup berhak memperjuangkan hak tersebut. Bahkan, Pasal 66 UU No 32/2009 menyatakan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat perdata.

“Saya berharap, ada yang menggugat karena hukum memberi ruang untuk melakukan gugatan itu,” kata Dosen Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu ini beberapa waktu lampau.

Dia juga menyebutkan bahwa, jalur masyarakat atau lembaga lingkungan hidup memperjuangkan hak atas lingkungan hidup terkait indikasi pencemaran batubara, pendangkalan sungai, kerusakan kawasan hutan dan lainnya, bisa non-hukum dan hukum. Bahkan dia menegaskan, untuk jalur hukum, dapat melakukan gugatan administrasi, perdata dan pidana.

“Bisa melalui PTUN agar izin dicabut, atau perbuatan melawan hukum? Kalau perdata, tinggal menghitung kerugian masyarakat, kerugian lingkungan. Atau pidana bila ada korban, misalnya masyarakat terkena penyakit, penyakit kulit atau meninggal, atau hewan yang mati, ikan atau lainnya,” kata Edra.

Mengenai indikasi pencemaran batubara dan kerusakan DAS Air Bengkulu, lanjut Edra, memang menimbulkan pertanyaan besar. Anggap saja prosedur perizinan sudah oke, ada Amdal, RPL dan RKL. Tapi, menurut dia, bagaimana pelaksanaan izin, apakah sesuai Amdal, RPL dan RKL? Kalau sesuai, mengapa batubara sampai di muara? Apakah karena kolam pengendapan tidak baik atau kesengajaan? Mengapa terjadi sendimentasi atau pendangkalan DAS Air Bengkulu.

Senada dengan sumber-sumber diatas, Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Fajrin Hidayat juga mengatakan, untuk persoalan ini tidak terlihat adanya itikad pemerintah daerah menyikapi indikasi pelanggaran HAM dan aturan. Padahal, untuk menemukan siapa yang bertanggungjawab, tidak susah.

“Kalau tidak ketemu, itu agak aneh. Khusus masalah pencemaran dan pendangkalan, sudah termasuk masalah besar, tapi sampai sekarang tidak ada satupun institusi atau lembaga negara bisa menjawab siapa yang harus bertanggungjawab, ini kan aneh. Ibarat kriminal, korban sudah ada, namun tidak diketahui siapa pelakunya,” ujar Fajrin beberapa waktu lampau.

Tunggakan masalah

Sementara Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bengkulu Ahyan Endu mengakui, cukup banyak tunggakan masalah pertambangan batubara yang akan ditata dan dibenahi. Namun dia mengatakan bahwa hal ini tidak bisa dilakukan pihaknya secara sendirian, harus bersama organisasi perangkat daerah lainnya. Itu pesan yang terus disampaikan Gubernur Bengkulu.

Ahyan yang ditemui bersama Sekretaris Dinas ESDM Provinsi Bengkulu Oktavino menyebutkan, terkait tunggakan royalti, mudah-mudahan ke depannya tidak akan menjadi masalah lagi, karena kalau mau mengirim atau operasi, bayar dulu royalti. Termasuk pengangkutan batubara menggunakan jalan umum, yang biasanya menimbulkan kerusakan jalan, harus ada kompensasi.

Oktaviano menambahkan, saat diserahkan kepada pemerintah provinsi, tercatat sebanyak 76 IUP. Setelah ditata, tersisa 39 IUP. Penataan terus dilakukan, misalnya terkait lokasi, IUP yang masuk kawasan konservasi akan dicabut atau dikecilkan luas izinnya. Untuk kawasan hutan lindung dan produksi, mereka diminta untuk mengurus izin pinjam pakai kawasan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Untuk masalah jaminan reklamasi, kata Oktaviano, jaminan paska tambang dan lubang yang tidak direklamasi, ESDM akan mengurusnya setelah masalah royalti selesai. Tidak mungkin aktivitas tambang tidak menyisakan lubang. Paska tambang, perusahaan wajib melakukan penataan lahan kembali. Kewajiban mengembalikan kawasan hutan sesuai fungsinya, dan pihaknya sedang menginventarisasi, nanti akan ditata.

Menurut Oktaviano, optimalisasi sektor pertambangan batubara di Provinsi Bengkulu sangat perlu dilakukan. Data Dinas ESDM menyebutkan cadangan batubara di Bengkulu mencapai 150 juta ton metrik. “Kenapa (pertambangan batubara) di Provinsi Bengkulu jalan? Karena pengangkutannya bisa melalui laut. Secara ekonomi, lebih murah. Kualitasnya juga lebih bagus dibandingkan di Musi Rawas, Sumatera Selatan,” tambah dia. (MR/01)



Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *