oleh

Strategi Politik Jokowi di Lingkaran Jenderal Pensiunan

 

Jakarta,RP- Presiden Joko Widodo atau Jokowi melantik dua purnawirawan jendral TNI Angkatan Darat di kabinetnya Rabu (17/1) pagi. Mereka adalah mantan panglima TNI Jendral (Purn) Moeldoko sebagai Kepala Staf Presiden (KSP) dan Jendral (Purn) Agum Gumelar sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres).

Pengamat poltik Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) Siti Zuhro menilai pelantikan dua pensiunan jendral itu sebagai modal Jokowi meningkatkan daya tawar politik (bergaining) dihadapan lawan politiknya menjelang Pilpres 2019.

“Untuk memperkokoh dan memperkuat posisinya sebagai incumbent yang akan mencalonkan kembali, dia ingin menunjukan bahwa ia tak hanya didukung oleh masyarakat sipil tapi juga TNI,” kata Siti saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Rabu (17/1).

Diketahui telah ada beberapa pensiunan jendral TNI di lingkaran kekuasaan Jokowi. Mereka di antaranya adalah Jendral (Purn) Wiranto yang menjabat sebagai Menkopolhukam, Jendral (Pur) Luhut Binsar Panjaitan menjabat sebagai Menko Bidang Kemaritiman dan Jendral (Purn) Ryamizard Ryacudu menjabat sebagai Menteri Pertahanan.

Siti menyebut pengangkatan kedua jendral kali ini mengindikasikan Jokowi sedang merespons kekuatan koalisi Gerindra, PKS dan PAN untuk ajang Pilpres 2019.

Siti melihat bahwa dalam struktur partai Gerindra juga memiliki banyak pensiunan jendral yang berdiri di belakang Prabowo. Hal itu lalu ditangkap Jokowi dengan melakukan strategi serupa.

“Tentunya karena ketua umumnya Gerindra yang mantan jendral itu, dalam kemunculan calon-calon di Pilkada juga mereka banyak mengusung para Jendral TNI, belum lagi di struktur partainya banyak jendral juga, hal itu juga harus ditimpali Jokowi dengan hal yang sama,” ujarnya.

Menurut Siti, para jendral itu disiapkan Jokowi sebagai lawan tanding yang setara bagi koalisi Prabowo. Para jendral di belakang Jokowi itu, dianggap sebagai sarana untuk melawan dan mengacak-acak kekuatan koalisi Prabowo di 2019.

“Jadi posisi Jokowi sebagai calon incumbent itu harus menghadirkan lawan tanding yang setara untuk political bargaining yang memberikan efek politik mengacak acak (koalisi Gerindra, PKS dan PAN), hingga tak gentar lagi sebagai incumben untuk maju lagi,” ujarnya.

Siti khawatir hubungan baik antara masyarakat sipil terhadap KSP akan terputus saat Moeldoko menjabat. Pasalnya, psikologis politik masyarakat sipil akan berubah dan enggan untuk melapor jika pimpinannya berasal dari militer.

“Bisa  jadi nanti yang terjadi communication breakdown atau tidak harmonis lagi, dan tidak ada koumunikasi dua arah tadi. Lalu aspirasi belum tentu terkakomodasi dengan baik kalau komunikasinya juga breakdown” ungkapnya.

Jika situasi seperti itu terjadi, kata Siti, tak menutup kemungkinan kepekaan pemerintah terhadap usulan dan masukan dari kelompok masyarakat sipil semakin mengecil. Sehingga kerja-kerja KSP soal penegakan HAM dan keadilan dinilai akan mati suri jika hal tersebut terjadi.

“Itu yang terjadi saat orde baru memerinatah, penegakan HAM tak dipikirkan, padahal dalam iklim demokrasi seperti ini sangat amat kurang itu penekanan hukum dan ham. Justru kita masih berjuang menegakan hukum dan HAM,” katanya. (cnn)

 

 



Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *