oleh

Subsidi APBN Lebih Baik Ketimbang Menaikkan Premi BPJS

BENGKULU, RP – Perubahan kebijakan layanan BPJS dengan diterbitkannya Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Dirjampelkes) No. 2, 3 dan 5 tahun 2018 telah memunculkan keresahan publik lantaran disebut mencabut jaminan terhadap tiga pelayanan medis diantaranya rehabilitasi medik, persalinan bayi sehat dan operasi katarak.

Padahal, Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BJPS Kesehatan, Budi Mohamad Arief telah memastikan, peraturan baru ini bukan memberhentikan jaminan, melainkan menata ulang ketentuan untuk mengoptimalkan mutu pelayanan dan efektivitas penjaminan kesehatan.

Anggota Komite III DPD RI, Riri Damayanti John Latief, mengungkapkan, aturan baru yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak harusnya digencarkan ketika telah dikeluarkan. Senator Riri mengimbau kepada BPJS Kesehatan untuk mempertahankan kepuasan publik terhadap Presiden Joko Widodo dalam bidang kesehatan setidaknya dalam kurun waktu dua tahun setelah mantan Walikota Solo itu menjabat.

“Ketika saya melakukan serap aspirasi banyak yang minta agar sosialisasi peraturan dari BPJS digencarkan. Saya selaku Senator siap bila diminta membantu untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat asalkan narasumbernya yang ahli mengenai aturan-aturan tersebut disediakan,” ujar Senator Riri kepada jurnalis. Selasa (7/8)

Selain itu, Senator Riri juga kerap menemukan adanya keluhan masyarakat seperti masih banyaknya warga yang kurang mampu memperoleh kartu BPJS Kesehatan. Mengingat tahun 2019 telah memasuki masa Pemilihan Umum (Pemilu), Senator Riri mengingatkan bahwa citra Pemerintah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla akan ikut terpengaruh bila hal ini tidak segera dibenahi.

Untuk mengatasi masalah ini, Sarjana Psikologi Universitas Indonesia itu menilai bahwa pendanaan atau penambahan subsidi dari APBN terhadap program kesehatan bisa menjadi solusi untuk penyelesaian atas masalah ini ketimbang menaikkan premi.

“Dengan iuran premi yang sekarang aja banyak warga masyarakat mengeluh kepada saya tidak mampu membayar, apalagi kalau satu orang kepala keluarga menanggung iuran semua keluarganya. Ini belum termasuk mereka yang belum punya BPJS. Ada banyak keluhan seperti ini,” kata Senator Riri.

Lanjut Riri menambahkan, Sebagai informasi, defisit keuangan BPJS Kesehatan terus naik dari tahun ke tahun. Tahun ini defisit keuangan BPJS Kesehatan diperkirakan mencapai Rp 11,2 triliun. Jumlah itu naik dari tahun 2017 yang sebesar Rp 9 triliun dan tahun 2016 yang sebesar Rp 9,7 triliun.

Ketua Bidang Tenaga Kerja, Kesehatan, Pemuda dan Olahraga BPD HIPMI Provinsi Bengkulu ini memaklumi adanya kesulitan yang ditemui oleh BPJS misalnya dengan rendahnya kesadaran masyarakat untuk membayar iuran. Saat ini peserta non PBI dibagi tiga kelas berbeda. Kelas 1 membayar Rp80.000 per bulan, kelas 2 membayar Rp51.000 dan kelas 3 dengan iuran Rp25.500 per bulan.

“Yang harus kita pastikan bersama adalah Pemerintah ketika mengelola bidang kesehatan ini harus berprinsip pada kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian. Jangan sampai ada kebijakan baru yang mengagetkan masyarakat, khususnya rumah sakit, klinik dan praktek mandiri,” demikian Riri.

Untuk diketahui, Komite III DPD RI telah melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Direksi BPJS Kesehatan Bayu Wahyudi, Ketua Asosiasi Rumah Sakit Daerah Dr Kusmedi Priharto dan Perwakilan Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia Fajaruddin Sihombing di Ruang Rapat Komite III DPD RI, Senayan, Jakarta, Selasa (26/6/2018).

Dalam RDP tersebut, BPJS Kesehatan mengakui tengah mengalami mismatch antara besaran iuran yang diterima dengan biaya pelayanan kesehatan yang dibayarkan. Selama ini besaran iuran yang ditetapkan sesuai Perpres Jaminan Kesehatan masih lebih rendah dengan perhitungan aktuaria.

(Ads)



Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *