oleh

Pembongkar Mahar Politik Harus Dilindungi

 

Jakarta,RP-: Penerima ataupun pemberi imbalan uang mahar dalam proses pencalonan kepala daerah dapat dikenai sanksi. Regulasi sanksi bagi para pelaku politik uang sudah diatur dalam UU Pilkada.

“Sebetulnya kita sudah punya kesepakatan bersama untuk melawan praktik mahar politik dengan menuangkan ke dalam Pasal 47 UU Pilkada yang sudah tegas menyatakan bahwa parpol dilarang menerima imbalan apa pun dalam proses pendaftaran,” kata Ketua Badan Advokasi Hukum (Bahu) Partai NasDem Taufik Basari dalam acara talk show Ngobrol Pintar soal Restorasi (Ngopi Sore) yang diadakan di Kantor DPP NasDem, Jakarta, Rabu, 17 Januari 2018.

Dalam regulasi tersebut, jika terbukti menerima imbalan, partai yang bersangkutan dilarang untuk mencalonkan kembali kepala daerah di daerah yang sama untuk periode pilkada mendatang.

Bahkan, dalam UU Pilkada itu terdapat Pasal 87 poin b dan c sebagai pasal pemberat hukuman pelaku politik uang.

“Anggota parpol penerima dapat diancam hukuman kurungan maksimal 6 tahun, sedangkan pemberi imbalan diancam hukuman kurungan maksimal 5 tahun,” lanjutnya.

Kendati demikian, pada praktiknya sulit bagi Bawaslu untuk membuktikan para pelaku politik uang guna dikenai sanksi.

Tidak banyak pihak yang ingin melaporkan atau bersaksi untuk menjerat pelaku politik uang. Ditambah, peraturan sanksi politik uang yang masih memberatkan para calon kepala daerah pemberi imbalan.

“Yang paling punya kompetensi untuk menceritakan fakta ialah mereka yang terlibat langsung dari praktik itu. Namun, masalahya mereka juga takut dikenai sanksi,” jelasnya.

Ia mengusulkan agar KPU dan Bawaslu dapat membuat payung hukum yang dapat melindungi saksi atau whistle blower yang mau membongkar pelaku politik uang.

“Saya mengusulkan agar Bawaslu mulai mengkaji dan mempertimbangkan pemberian perlindungan hukum bagi saksi yang mau membongkar pengalamannya dengan politik mahar,” tuturnya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta aparat penegak hukum untuk menindak kasus dugaan adanya mahar politik pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018.

Hal ini dikatakan oleh Ketua MUI KH Ma’ruf Amin menanggapi wacana penerbitan fatwa haram terhadap mahar politik.

“MUI sudah mengeluarkan fatwa haram terkait mahar politik atau money politic di pilkada jadi tidak perlu ada fatwa lagi,” kata KH Ma’ruf Amin saat ditemui di Surabaya, Jawa Timur, Rabu, 17 Januari 2018.

Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu juga mengatakan sudah ada undang-undang yang mengatur hal itu. Jika di beberapa daerah masih ada praktik tersebut, dia meminta aparat hukum untuk menyelesaikannya.

“Tinggal bisa dibuktikan atau tidak. Kan sudah ada aturannya sekarang tinggal penegakannya. Aturan ada, fatwa ada, jadi harus ditegakkan. Maka harus dieksekusi,” tandasnya.

Di pihak lain, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Kalimantan Timur, Saipul, menyatakan dugaan praktik mahar politik pada Pilkada serentak 2018 sulit ditindak.Salah satu faktornya ialah keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh Bawaslu. “Sulit ditindak.” (YDH)



Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *